Pola pemberian makan anak

anak harus diberikan makanan dengan jumlah dan bentuk yang sesuai dengan usianya

Menurut World Health Organization (WHO), anak-anak harus diberikan makanan-makanan yang sehat. Jika ia berusia 0-6 bulan maka diberikan ASI eksklusif, sedangkan setelah 6 bulan harus diberikan makanan pendamping ASI (MP ASI) dengan jumlah, takaran, dan jenis yang sesuai disamping tetap diberikan ASI hingga usia 2 tahun (WHO, 2003). Sekarang ini cakupan pemberian ASI eksklusif masing sangat rendah khususnya di negara-negara berkembang, selain itu pola pemberian makanan pendamping juga kurang tepat. Di negara berkembang, rata-rata cakupan pemberian ASI eksklusif hanya 36%, kurang dari 33% anak-anak tidak mendapatkan beragam makanan, serta lebih dari 50% mendapatkan pola pemberian makan yang salah. Brazil sebagai salah satu negara berkembang, hanya sekitar 41% cakupan ASI eksklusifnya, dan 21% anak-anak dibawah 6 bulan yang telah mengenal makanan selain ASI telah dikenalkan makanan-makanan yang tidak cocok untuk anak seperti kue kering, makanan ringan, dan soft drink (MS, 2009). Bayangkan anak-anak usia kurang dari 1 tahun telah mengenal makanan-makanan dengan tekstur yang keras dan berkarbonasi, tentu saja ini sangat tidak sehat khususnya untuk pencernaan anak-anak.

Sesuai standar yang direkomendasikan untuk mencapai pertumbuhan pada periode emas, pola pemberian makanan pada anak adalah inisiasi menyusui dini (IMD), ASI eksklusif dari 0 hingga 6 bulan, pemberian MPASI yang tepat dan tetap diberikan ASI hingga usia 2 tahun. Namun masih banyak juga orang tua yang kurang tepat dalam memberikan makanan kepada anaknya. Selain terlalu cepat mengenalkan anak terhadap makanan lain, kesalahan juga seringkali karena salah tekstur dan variasinya. Pola-pola pemberian makan yang tidak tepat biasanya dalam bentuk pemberian makanan yang padat energi namun rendah zat-zat gizi esensial lainnya. Semuanya sangat dipengaruhi oleh keterampilan ibu dalam memberikan makanan kepada anaknya, keterampilan tersebut tentunya ada jika ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik terkaitnya cara pemberian makanan anak. Dikutip dari pendapat salah satu dosen UGM, Fatma Zuhrotun Nisa, bahwa balita yang besar dalam keluarga miskin juga berpeluang tumbuh sehat jika anak tersebut diasuh dengan tepat oleh orang tua memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan. Sebaliknya, meskipun anak dari keluarga yang tercukupi dari segi finansial, misalnya kedua orang tuanya bekerja sebagai PNS ternyata masih mengalami gizi buruk. Hal tersbut terjadi karena pengasuhan anak diserahkan pada nenek yang memiliki keterbatasan pengetahuan akan pentingnya pemberian makanan berigizi. Meskipun demikian tidak dipungkiri juga faktor kemiskinan bagi beberapa daerah menjadi faktor determinan masalah gizi pada anak.

Pola asuh yang baik yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Jika tingkat pendidikan ibu baik maka pola asuh yang diberikan bisa sesuai dan menyehatkan untuk anak. Pola pemberian makanan yang tidak tepat bisa saja karena kuantitasnya yang kurang atau lebih, kualitasnya yang kurang baik (kurang sehat ataukah jenis yang kurang tepat untuk anak), dan bahkan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (IMD, ASI eksklusif). Penelitian di Brazil menunjukkan bahwa jenis konsumsi makanan anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Penelitian tersebut menunjukkan konsumsi makanan ringan, soft drink, dan makanan tinggi gula semakin meningkat seiring dengan semakin menurunnya tingkat pendidikan ibu (Saldiva et al., 2014). Survei di Brazil juga menunjukkan bahwa sebesar 63% balita usia 6-12 bulan mengonsumsi bubur dengan gula tambahan, sekitar 69% anak-anak usia diatas 12 bulan telah mengenal soft drink. Pola makan seperti ini sangatlah tidak sehat untuk anak-anak (Saldiva et al., 2007; Bernardi et al., 2009).

Pola konsumsi makanan-makanan dengan gula tambahan tidaklah baik untuk anak. Dan perilaku yang salah ini semata-mata karena pengetahuan ibu yang kurang bukan karena kemiskinan. Lihat saja program yang dilakukan oleh pemerintah Brazil yakni program cash transfer untuk keluarga miskin dan yang sangat miskin. Anak balita yang keluarganya mendapatkan program cash transfer memiliki kecenderungan tiga kali lipat mengonsumsi makanan yang manis dibandingkan anak yang keluarganya tidak memperoleh program tersebut. Pendidikan ibu diasumsikan sebagai variabel determinan perilaku makan tersebut (Saldiva et al., 2010).

contoh pemberian makanan anak (sumber: http://pongasi.blogspot.com)
contoh pemberian makanan anak (sumber: http://pongasi.blogspot.com)

Ketidakcermatan ibu memberikan/mengenalkan anak dibawah dua tahun terhadap makanan-makanan ringan, padat energi, soft drink, dan makanan tidak sehat lainnya bisa berdampak terhadap kesehatan anak di usia selanjutnya. Oleh karena masa 2 tahun pertama kehidupannya merupakan periode emas sehingga apabila baik maka pertumbuhan dan kesehatannya secara umum akan baik, namun jika tidak baik dapat menimbulkan masalah-masalah kesehatan pada anak. Konsumsi gula berhubungan dengan karies gigi (Wilson et al., 2009) dan risiko lebih tinggi terkena obesitas (Ruottinen et al., 2008; Buyken et al., 2008). Selain itu, diet berkualitas rendah dapat menyebabkan defisiensi mikronutrien karena kandungan gizi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan produk rendah gula (Erkkola et al., 2009; Kranz et al., 2005). Asupan garam yang berlebihan selama masa kanak-kanak meningkatkan risiko untuk penyakit jantung di usia dewasa. Asupan natrium tinggi selama 6 bulan pertama kehidupan telah dikaitkan dengan tekanan darah tinggi (Hofman et al., 1983; Geleijnse et al., 1997). Temuan ini memperkuat pentingnya mempromosikan kebiasaan gizi sehat selama masa kanak-kanak.

 

Referensi:

  1. World Health Organization: Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Geneva: WHO; 2003.
  2. Saldiva SRDM, Escuder MM, Mondini L, Levy RB, Venancio SI: Feeding habits of children aged 6 to 12 months and associated maternal factors. J Pediatr (Rio J) 2007, 83(1):53–58.
  3. Saldiva SRDM, Silva LFF, Saldiva PHN: Anthropometric assessment and food intake of children younger than 5 years of age from a city in the semi-arid area of the Northeastern region of Brazil partially covered by the bolsa família program. Rev Nutr 2010, 23(2):221–229.
  4. Saldiva SRDM, Venancio SI, de Santana AC, da Silva Castro AL, Escuder MML, and Giugliani ERJ. The consumption of unhealthy foods by Brazilian children is influenced by their mother’s educational level. Nutrition Journal 2014, 13:33
  5. Bernardi JLB, Jordão RE, Barros Filho AA: Supplementary feeding of infants in a developed city within the context of a developing country. Rev Panam Salud Publica 2009, 26(5):405–411.
  6. Wilson TA, Adolph AL, Butte NF: Nutrient adequacy and diet quality in non-overweight and overweight Hispanic children of low socioeconomic status: the Viva la Familia Study. J Am Diet Assoc 2009, 109:1012–1021.
  7. Ruottinen S, Niinikoski H, Lagstrom H, Ronnemaa T, Hakanen M, Viikari J, Joniken E, Simell O: High sucrose intake is associated with poor quality of diet and growth between 13 months and 9 years of age. The special Turku Coronary Risk Factor Intervention Project. Pediatrics 2008, 121:1676–1685.
  8. Buyken AE, Cheng G, Gunther AL, Liese AD, Remer T, Karaolis-Danckert N: Relation of dietary glycemic index, glycemic load, added sugar intake, or fiber intake to the development of body composition between ages 2 and 7 y. Am J Clin Nutr 2008, 88:755–762.
  9. Erkkola M, Kronberg-Kippila C, Kyttala P, Lehtisalo J, Reinivuo H, Tapanainen H, Veijola R, Knip M, Ovaskainen ML, Virtanen SM: Sucrose in the diet of 3-year-old Finnish children. Sources determinants impact on food nutrient intake. Br J Nutr 2009, 101:1209–1217.
  10. Kranz S, Smiciklas-Wright H, Siega-Riz AM, Mitchell D: Adverse effect of high added sugar consumption on dietary intake in American preschoolers. J Pediatr 2005, 146:105–111.

Lantai beralaskan tanah,, angin menmbus dinding bambu, rumah tanpa ventilasi,, hwan2 peliharaan bebas masuk kerumah, makanan tdk pasti tersedia drmh, anak2 dalam rumah banyak dan tdk satupun memakai sndal atau dijaga kbersihannya. Sbagian bsar diantara mereka bergizi kurang.. Kondisi masyarakat ini terjadi di NTT dan daerah tertinggal lainnya d Indonesia. Alhamdulillah Bersyukurlah kita yg masih tercukupi dan mampu bersekolah serta hidup yg lebih layak. – at Kab. Timor Tengah Selatan

View on Path

Seputar Vegetarian (1)

Dalam suatu kesempatan kami diundang sebagai pembicara dalam talkshow dengan tema Vegetarian, Gizi Seimbang kah? Dengan tema tersebut tentu menimbulkan asumsi bahwa sebenarnya vegetarian itu masih merupakan hal yang diperdebatkan dan memunculkan pro dan kontra tentang sehat tidaknya jika dijalani. Berikut ringkasan singkat terkait seputar vegetarian dan hubungannya dalam keilmuwan gizi.

  • Vegetarian dan spritualisme seseorang

Melihat sejarah perkembangan vegetarian, awal mulanya berkembang sekitar thn 1800an tepatnya 1847 di US. Alasan utama mereka adalah berkaitan dengan kebugaran dan kesehatan tubuh. Karena konsumsi daging bisa mempengaruhi perilaku manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pola pandang itu berubah menjadi fokus pada aspek spiritual/agama terutama di daerah timur. Hal ini tidak terlepas dari beberapa agama yang memang dalam ajarannya menganjurkan untuk mengonsumsi sayur buah dan menolak makan daging. Dalam beberapa agama, vegetarian adalah cara untuk “menjaga tubuh dan pikiran terjaga murni,” lalu kemudian diikuti adanya rasa kemanusiaan dan belas kasihan terhadap kehidupan binatang hidup. Misalnya Kong Hu Cu, Buddha, para pendeta Yunani dan Mesir, agama TAO, bahkan ada beberapa golongan dari agama Yahudi. Untuk Islam sendiri sama sekali tidak membatasi pola makan vegetarian ini, bahkan dalam kaedah fikih, semua yang merupakan masalah adat, seperti makan, minum, pakaian, maka semuanya adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya.Misalnya, kita diharamkan untuk memakan tikus, kodok, binatang yang bertaring atau binatang yang bercakar yang cakarnya itu digunakan untuk memangsa. Belum pernah kita mendengar adanya perintah untuk tidak makan daging sapi ayam dll kecuali hewan tersebut cacat atau belum cukup umur sembelih selama itu halal dan baik.

Oleh karena itu sebenarnya untuk menjadikan vegetarian sebagai tolak ukur tingkat “keimanan” seseorang, perlu kita telaah lebih baik lagi. Karena indikator ini berbeda bagi masing-masing keyakinan. Bisa saja beberapa orang taat dan tekun melakukan itu krn mmg di agamanya diperintahkan demikian, dan sebaliknya. Mari kita mengubah pola pikir seperti ini.

  • Vegetarian dan badan lemas

Badan lemas mungkin saja, ada beberapa penyebab yang bisa membuat seorang yang vegetarian murni mengalami badan lemas. Pertama adalah disebabkan karena dihilangkannya dua sumber utama gizi makro yakni lemak dan protein yang sebagian besar diperoleh dari daging. Lemak terbukti sumber energi terbesar setiap 1 gr nya dan bahkan lemak lebih lama dicerna dalam tubuh sehingga memberikan pasokan energi yang stabil bagi yang mengonsumsinya. Protein juga berfungsi sebagai sumber energi, zat pembangun, dan zat pengatur. Kedua, seorang vegetarian memiliki risiko mengalami Anemia seperti penjelasan sebelumnya dibandingkan yang non-vegetarian. Salah satu ciri atau simptom dari anemia adalah selalu merasa lemas, disamping selalu ngantuk dan pucat.

Namun beda halnya ketika seorang vegetarian tapi tetap mengonsumsi produk hewani selain daging, bisa memberikan efek yang berbeda karena kita semua tahu bahwa susu telur ikan merupakan sumber protein tinggi, serta memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Protein pada ikan dan seafood lainnya (bukan yang dikalengkan) bisa membantu proses pembentukan otot, jaringan, hingga sistem imun tubuh.

  • Vegetarian dan penyakit degeneratif

Faktor kesehatan menjadi alasan utama kedua dari sebagian besar penganut vegetarian. Menurut Dwyer (1988) dan Kahn (1983) bahwa beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa vegetarian memeliki inisiden yang lebih rendah terhadap penyakit hipertensi, jantung, diabetes, dan batu empedu dibanding yang bukan vegetarian. Beberapa vegetarian juga memiliki risiko defisiensi beberapa mikronutrients seperti Fe, B12, kalsium, dan zink).

Penelitian Tonstad et al (2009), membuktikan bahwa seseorang dgn diet vegan dan lacto ovo vegan menurunkan risiko DM tipe II hingga setengah, sedangkan yang pesco dan lacto hanya menurunkan sekitar seperempat risiko DM tipe II.

Hipotesisnya adalah, karena pada vegan dalam penelitian ini terbukti memiliki IMT yang lebih rendah dibandingkan semi vegetarian dan non-vegetarian. Sedangkan kita ketahui bahwa obesitas merupakan pintu masuk penyakit kronik degeneratif seperti DM, HT, PJK, dll.

Namun ada juga penyakit degeneratif yang meningkat risikonya akibat vegetarian, misalnya osteoporosis dan osteopenia (berkaitan dengan kepadatan tulang). Masalah utamanya adalah kekurangan kalsium sebagai salah satu unsur penting penyusun kepadatan tulang. Vegetarian baru dapat memenuhi kebutuhan kalsiumnya jika mengonsumsi jumlah yang cukup banyak dari produk olahan susu rendah lemak atau bebas lemak, seperti susu, yogurt, dan keju. Selain itu konsumsi sumber-sumber vitamin D juga seperti keju, margarin, sereal, dan puding yang dicampur susu.

Penelitian juga menunjukkan bahwa nasunin (fitonutrient) dapat memperlambat perkembangan penyakit Alzheimer dengan mencegah radikal bebas dari neuron merusak. Nasunin ditemukan dalam terong.

Flavonoid dari berry berpotensi menyelamatkan nyawa (kelas antioksidan) ditemukan dalam kadar tinggi dalam buah beraroma ini, dapat menghalangi enzim terkait dengan pembentukan bekuan darah, menurunkan risiko serangan jantung atau stroke, menurut sebuah studi 2012 dari Harvard Medical School .

berlanjut pada tulisan selanjutnya….

Kebijakan larangan junk food-berbagai strategi

foto: www.bbc.com
foto: http://www.bbc.com

Contoh datang dari California, salah satu negara bagian di United State yang mengeluakan kebijakan strategis dan tepat sasaran. Kebijakan tersebut berupa larangan penjualan junk food di kafetaria dan lingkungan sekitar sekolah-sekolah yg ada disana. Laporan terbaru menunjukkan bahwa siswa-siswa SMA disana memiliki tingkat konsumsi kalori lebih sedikit dan lebih rendah konsumsi lemak dan gula di sekolah dibandingkan siswa-siswa di negara bagian lain di US. Studi ini melaporkan bahwa siswa-siswa yang sekolahnya memberlakukan kebijakan tersebut memiliki sekitar 160 kkal lebih sedikit perharinya dibandingkan siswa di negara bagian lain.
Temuan ini sekaligus menegaskan bahwa kebijakan yang dikeluarkan ternyata bisa sukses sampai batas tertentu dalam mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Dalam artian, kebijakan yang diberlakukan ini meskipun hanya sebatas di sekolah, namun ternyata cukup efektif merubah perilaku makan remaja sehingga mendapatkan asupan kalori lebih sedikit dibandingkan siswa lain. Untuk asupan makan dirumah, belum ada kontrol terhadap larangan konsumsi junk food, namun kemungkinan besar dengan adanya informasi di sekolah tentang larangan penjualan junk food, bisa memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata junk food itu tidak baik bagi dirinya.

Kebijakan lain mungkin bisa efektif untuk batasan selama dirumah, yakni dengan mengembangkan kebijakan penampilan iklan junk food di media televisi. Misalnya dengan melarang tampilan iklan-iklan junk food selama anak menonton televisi atau paling tidak hingga waktu puncak anak menonton televisi yakni sekitar pkl 21.00 (9 malam). Simon Gillespie, chief executive dari British Heart Foundation, mengatakan: “Orang tua mengharapkan anak-anak mereka tidak akan dihujani dengan iklan makanan yang tidak sehat selama TV tayang utama, tapi itulah yang terjadi”

Jam tayangan ini sangat efektif, perusahaan tidak mungkin mengeluarkan banyak uang untuk kampanye produk makanannya kalau memang pada jam ini tidak efektif. Hal ini dikarenakan anak-anak dan remaja memiliki jam nonton televisi berkisar hingga pkl 20.00-21.00. Telah terbukti bahwa remaja dan anak-anak sangat mudah terpengaruh oleh paparan iklan-iklan di TV. Makanya perusahaan berkompetisi untuk menampilkan produknya disini. Parahnya lagi, ternyata iklan-iklan yang banyak muncul adalah makanan-makanan “miskin” nilai gizi.

Suatu studi yang dilakukan di Indonesia (2013) terkait iklan-iklan makanan yang ditampilkan. Sebagian besar bahkan hampir seluruhnya tidak sehat (junk). Parahnya lagi, iklan-iklan ini meningkat durasi dan kuantitasnya di waktu-waktu puncak jam menonton anak-anak yaitu di pagi hari, sore hari, dan malam hari. Penelitian ini dilakukan di beberapa negara, dan di dapatkan bahwa Indonesia memiliki presentase jumlah iklan makanan tidak sehat yang ditampilkan paling banyak.

foto: http://www.weightymatters.ca
foto: http://www.weightymatters.ca

Beda lagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan di Mexico, di sana menerapkan “taxation policy” atau kebijakan dengan memainkan peran pajak. Pajak yang cukup tinggi untuk makanan-makanan tidak sehat khususnya fast food menjadikan ada kontrol tersendiri terhadap perkembangan bisnis junk food disana. Demikian penyampaian Simon Barquera dari National Institute of Public Health Cuernavaca Mexico dalam pertemuan International Congress on Obesity di Kuala Lumpur bulan maret 2014 lalu.

foto: hungryfoodlove.com
foto: hungryfoodlove.com

Kebijakan lainnya, bisa dengan mengembangkan model pemasaran fast food/junk food namun konten yang dijual adalah healthy food, misalnya dengan melakukan pemasaran untuk “mobile vendor food” atau penjualan makanan-makanan sehat dengan sistem bergerak menggunakan kendaraan. Seperti sistem jemput bola, jangan menunggu orang datang membeli makanan sehat, tapi kita yang berkeliling untuk mencari orang-orang yang mau membeli produk-produk makanan sehat, sekaligu sebagai media kampanye makanan sehat. Dalam mobile vendor, macam-macam makanan sehat bisa dijual, seperti buah-buahan segar, salad buah sayur yang siap santap (ditempatkan di kotak pendingin agar segar), paket sarapan sehat (yg bs dijual di pagi hari), air mineral segar, dll.

Jadi kesimpulannya, banyak strategi-strategi yg bisa dikembangkan untuk membuat kebijakan yang bertujuan mengatasi perkembangan pemasaran unhealthy food di negara-negara berkembang dan negara maju. Hal ini sebagai upaya untuk melawan epidemi obesitas di berbagai negara. Karena kita tahu bahwa junk food/fast food berkontribusi signifikan terhadap kenaikan asupan kalori yg berlebih dan kenaikan berat badan.